“Yey hujan!”
“Kau masih saja menyukai hujan. Padahal kau
juga sering menangis dibawahnya”
Aku tidak menjawab, aku
sengaja tidak menghiraukannya meskipun aku dapat mendengarnya dengan jelas,
karena lelaki itu mengucapkannya dengan cukup keras.
“Hey, berhentilah bersikap konyol. Berhentilah
menari-nari tidak jelas dan berputar-putar seperti itu dibawah derasnya hujan. Kau
bisa sakit dan nanti aku bisa dimarahin kedua orang tua kita” teriak lelaki
itu.
“Biarkan aku seperti ini sampai hujannya
berhenti” balas ku dengan teriakan juga.
“Aku tak mau terlihat benar-benar menangis
dibawah hujan, jadi aku harus melakukan ini” batin ku.
Sekitar empat puluh lima
menit, hujan pun berhenti. Lelaki itu masih setia menunggu gadis yang
terus saja berada dibawah hujan di sebuah teras toko yang sudah tutup.
“Hujan sudah berhenti. Cepatlah kemari”
Aku pun menghampirinya. Mata
ku pasti terlihat sembab. Entah sudah berapa banyak air mata yang telah aku
habiskan dalam waktu kurang lebih empat puluh lima menit itu.
“Kau ini kakak sepupu ku yang paling
menyusahkan saja. Menangis huh?”
“Diamlah. Aku tidak menangis. Ini hanya air
hujan. Seperti yang kau lihat tadi, hujannya benar-benar deras dan membasahi
seluruh tubuh ku tak terkecuali wajah ku. Jadi ini adalah air hujan bukan air
mata. Lagipula untuk apa aku menangis?”
“Awalnya memang tidak. Tapi setelah kau
melihat sepasang kekasih diseberang sana, tarian mu berubah seperti dipaksakan,
dan saat itu aku melihat raut wajah ku pun berubah”
“Aha, berarti sejak tadi kau memerhatikan ku,
kan?”. Laki-laki itu tidak menjawabnya namun hanya menatap ku.
“Aku tahu kau memerhatikan ku. Buktinya kau
tahu jika raut wajah ku berubah. Kita bukanlah saudara dekat, kita adalah saudara jauh.
Jadi masih ada kesempatan untuk kita jika kau mau” lanjut ku disertai tawa khas
yang memerlihatkan deretan gigi atas ku dan membuat mata ku hampir menjadi
segaris.
Laki-laki itu hanya diam dan
menatap gadis itu dengan lekat. Sang gadis masih terus saja tertawa. Ia tahu
jika gadis itu berusaha menutupi perasaannya dengan sebuah tawa. “Berhentilah
berpura-pura seolah-olah kau ini baik-baik saja” batin laki-laki itu.
“Bisakah kau melupakannya? Atau lebih
tepatnya berhenti mencintainya? Dia sudah menjadi milik orang lain saat ini.
Dia sudah bahagia sekarang, lalu kenapa kau tak membiarkan dirimu pun bahagia”
akhirnya laki-laki itu mulai bicara.
Ia tertegun. Matanya sempat
terbelalak, bahkan mulutnya sempat terbuka dan wajahnya tiba-tiba menjadi lebih
pucat dari sebelumnya. Tapi semua itu hanya berlangsung sebentar, bahkan tak lebih
dari dua menit. “Dia memang sangat pintar menyembunyikan perasaannya” batin
laki-laki itu
“Aku tidak pernah benar-benar mencintainya. Dan
aku telah bahagia” jawab ku dengan senyuman yang tetap ku paksakan.
“Berhentilah berpura-pura seolah-olah kau ini
baik-baik saja”
“Aku memang baik. Memangnya aku kenapa?”
“Kau mungkin bisa membohongi ku dengan
kata-kata mu, bahkan kau bisa membohongi hati mu sendiri. Tapi mata mu tidak
bisa berbohong”
“Hahahahahaha kau ini ada-ada saja. Aku memang
benar-benar tidak apa-apa, aku benar-benar dalam keadaan yang baik-baik saja. Kau
tak perlu khawatir”
“Iya sudah jika memang begitu. Ayo kita
pulang”
“Maaf, tapi kau memang benar. Aku masih belum
bisa melupakannya seutuhnya. Terkadang aku memang melupakannya, terkadang aku
masih mengingatnya dengan sangat jelas. Aku tadi memang menangis dibawah hujan.
Itu karena aku melihat sepasang kekasih diseberang ku. Jaraknya cukup dekat,
sehingga aku masih dapat mendengar percakapan mereka. Percakapan mereka membuat
ku membandingkan dia dengan pria itu. Aku sungguh bersyukur pernah memilikinya,
meskipun di masa lalu” batin ku.
“Ayo pulang, sebelum hujannya semakin deras. Aku
tidak membawa mobil ku. Dan kita sama-sama membawa sepeda motor. Apakah kau
membawa jas hujan?” tanya laki-laki itu
“Aku tidak membawa jas hujan. Aku akan
menerobos hujan itu” jawab gadis itu
“Aku juga tidak membawanya. Ayo cepat kita
pulang sebelum-“ ucapannya terpotong ketika hujan mendadak sangat deras, bahkan
mereka harus sedikit berteriak agar dapat didengar oleh lawan bicara.
“Ah lihatlah perempuan itu. Apakah dia gila
menari-nari dan berputar seperti itu ditengah derasnya hujan” kata gadis itu.
“Biarkanlah. Paling dia akan sakit. Aku tidak
mau sampai kau sakit. Jadi ayo kita pulang sekarang sebelum hujan semakin deras”
“Apa kau akan mengantar ku sampai rumah?”
“Apa kau gila? Jalan rumah mu lebih jauh dari
jalan rumah ku. Untuk mencapai rumah mu kita melewati rumah ku dulu jika dari
sini” jawab laki-laki itu
“Berarti kau tidak mau mengantar ku sampai
rumah? Kau bisa menunggu hujan reda dirumah ku jika kau mau”
“Maaf tapi sepertinya aku akan langsung
pulang kerumah, mengingat hujannya cukup deras dan aku masih harus mengerjakan tugas sekolah ku”
“Baiklah. Ayo” jawab gadis itu.
Aku ingat saat kita sedang
berdiam di suatu tempat. Kita mengendarai kendaraan yang berbeda, membawa
sepeda motor masing-masing. Dan tiba-tiba saja hujan, walaupun hanya
rintik-rintik. Kau mengajak ku untuk segera pulang sebelum hujan berubah deras.
“Ayo pulang” ajak laki-laki itu
“Ayo. Nanti kita berpisah di lampu merah
dengan toko kue itu ya” balas ku
“Kenapa disitu?” tanya laki-laki itu sambil
menyatukan kedua alisnya
“Aih kau ini bagaimana. Rumah ku masih lurus
dari sana, dan rumah mu berbelok ke kanan dari sana. Jadi kita berpisah disana”
jelas ku.
“Tidak”
“Kenapa?”
“Aku akan mengantarmu sampai rumah. Aku harus
memastikan kau sampai dirumah dengan selamat”
“Kau ini berlebihan. Ini sedang hujan. Lagipula
dari lampu merah toko kue itu menuju rumah mu memerlukan waktu sekitar satu jam.
Sedangkan untuk menuju rumah ku hanya memerlukan waktu sekitar lima belas menit saja.
Kalau kamu mengantarkan aku sampai rumah, kau akan lebih lama sampai dirumah. Belum
lagi jika hujannya tiba-tiba berubah menjadi deras”
“Kau ini cerewet sekali. Baiklah aku tidak
akan mengantarmu sampai rumah. Apa kau membawa jas hujan?” tanya laki-laki itu.
Aku hanya menggelengkan
kepala ku lalu terkekeh.
“Kebiasaan. Pakai jas hujan ku. Cepat pakai
sebelum hujannya menjadi deras”
“Lalu kau?”
“Pakai dan jangan banyak bicara”
Aku segera memakai jas hujan
itu. Mereka segera bersiap untuk pulang. Ditengah perjalanan saat akan
mendekati lampu merah dekat toko kue, kalian terjebak dengan lampu lalu lintas
yang berubah menjadi warna merah, menandakan para pengguna kendaraan harus
berhenti. Laki-laki itu berdiri tepat di sebelah kanan ku. Menatap ku lekat
lalu tersenyum.
“Berpisah disini ya. Jas hujan mu akan ku
kembalikan besok”
“Iya, pakailah”
Saat lampu lalu lintas
berubah menjadi warna hijau, aku pun melaju dengat sedikit mengebut karena
hujan sudah semakin deras. Tanpa ku sadari, laki-laki tetap mengikuti ku dari
belakang. Membiarkan tubuhnya basah kuyup karena tidak mengenakan jas hujan.
Saat sampai dirumah, dan aku
langsung memarkirkan sepeda motor ku di garasi rumah. Saat aku hendak menutup
gerbang, aku melihat laki-laki itu di depan rumah ku dengan kondisi yang tak
bisa dijelaskan. Tubuhnya basah kuyup. Benar-benar basah. Dan anehnya dia
berhenti lalu tersenyum ke arah ku.
“Apa yang kau lakukan? Kenapa mengikuti ku?
Kau bodoh! Cepat pulang. Aku tidak mau sampai kau sakit. Kalau kau sampai
sakit, aku tidak akan pernah mau bertemu dengan mu lagi”
“Aku akan pulang sekarang. Tapi sebelum itu
aku benar-benar harus memastikan kau sampai di rumah dengan selamat”
“Aku sudah sampai rumah. Sekarang kau
cepatlah pulang”
“Baiklah. Selamat malam. Aku mencintai mu”
Aku
tak sempat menjawab kalimat terakhirnya, ia segera memutar arah dan melaju
hingga tak terlihat lagi. Aku tersenyum. Jujur aku sangat bahagia saat itu. Kau
sangat berkorban untuk ku.
Maafkan
aku, aku masih mengingat hal itu. Dan maaf, aku masih berani menulisnya. Aku tidak
pernah berniat mengusik kebahagianmu. Biar aku saja yang mengingat semuanya. Kau
hanya perlu bahagia dengannya yang memiliki agama- yang sama dengan mu.
Rabu, 6 Juli 2016. 01:40
Komentar