“ Jangan bodoh! Kau pasti bisa
melakukannya “
“ Tapi tulisan ku begitu jelek, dan
alur ceritanya pun kacau “
“ Maka dari itu teruslah berlatih agar
semuanya terlihat sempurna di mata mu, tapi bagi ku kau melebihi kata sempurna
“
Vanya membisu, ia hanya bisa
menundukkan wajahnya dari Alex. Alex tak pernah bosan untuk membaca, memberi
saran pada setiap tulisan yang telah diselesaikan oleh Vanya. Dan Alex juga tak
pernah bosan untuk selalu memotivasi Vanya ketika ia terpuruk dikarenakan ia
menganggap tulisannya begitu kacau. Alex-lah yang menjadi motivator bagi Vanya
untuk terus berlatih menulis.
Hari berganti minggu, minggu berganti
bulan, dan bulan berganti tahun. Ini sudah memasuki tahun keempat mereka
bersama. Empat tahun yang tak mudah bagi mereka untuk melewatinya. Begitu
banyak kerikil kecil bahkan tak jarang bongkahan batu yang besar menerjang
mereka, berusaha agar hubungan mereka hancur menjadi kepingan kecil yang tak
beraturan. Namun, berkat keyakinan mereka yang begitu kuat hingga mereka masih
tetap bertahap selama empat tahun terakhir ini.
Begitu banyak perbedaan di antara
mereka. Mulai dari perbedaan agama yang membuat mereka terkadang sulit untuk
melaju, perbedaan asal-usul yang membuat mereka terkadang hampir menyerah, dan
tak jarang mereka mengalami perbedaan pendapat yang akhirnya menimbulkan
pertengkaran kecil di antara mereka. Namun, Alex tak pernah berhenti untuk
mengalah ketika ia sedang beradu pendapat dengan Vanya. Hal kecil seperti itu
yang membuat Vanya semakin jatuh hati kepada Alex.
Perasaan di antara keduanya begitu
besar, selama ini tak pernah terlintas sedikit pun dalam benak mereka untuk
melontarkan kata “putus”, karena mereka tahu bahwa kata itu begitu menyakitkan
untuk di dengar. Hingga suatu saat terlintas dalam benak Vanya untuk mengerjai
Alex dengan cara meminta agar hubungan mereka berakhir sampai di sini, tak ada
maksud lain dalam pikiran Vanya, ia hanya ingin mengetahui sejauh mana Alex
mencintainya.
Pada saat yang dirasa Vanya begitu
tepat, ia segera melaksanakan rencananya untuk mengerjai Alex. Iya, ia meminta
kepada Alex untuk mengakhiri hubungan mereka. Awalnya Vanya mengira semuanya
akan berjalan seperti yang ia inginkan, namun ternyata perkiraan Vanya salah.
Alex berubah menjadi sangat marah pada Vanya. Kemarahan yang belum pernah Vanya
lihat selama ini dalam diri Alex, ia tak menyangka Alex yang selama ini begitu
sabar menghadapinya akan berubah menjadi sedemikian mengerikan ketika ia
benar-benar marah. Tanpa ia sadar, ada sesuatu yang mengalir di pipi Vanya,
sesuatu yang hangat dan mengalir deras diiringi suara isak tangis Vanya. Vanya
menangis! Vanya menangis karena kebodohannya.
“ Maafkan aku, Alex. Maafkan aku. Aku
hanya bercanda “ isak Vanya.
“ Diam kau! Cara mu bercanda sungguh
tak lucu! Apakah kau tahu bagaimana perasaan ku ketika kau bercanda dengan cara
seperti itu ? Itu sungguh tak masuk akal untuk kau jadikan sebagai bahan
lelucon “ bentak Alex.
“ Aku tahu, maafkan aku “ lirih Vanya.
Tanpa berpikir panjang, Alex memeluk
Vanya dengan erat dan membiarkan baju putih bergambar Menara Eiffel miliknya
menjadi basah akibat air mata yang keluar dari mata Vanya yang lemah itu. Ia
tak menyangka bahwa dirinya akan menjadi begitu marah hanya karena lelucon
kecil dari kekasihnya, padahal selama ini ia selalu bisa menghadapi sikap
kekanak-kanakan Vanya dengan penuh kesabaran. Ia merasa seperti monster yang
begitu menakutkan bagi Vanya, ingin ia berlari pergi dengan segera, namun rasa
sayang yang ia milki menahannya untuk tetap tinggal bersama Vanya. Ia tak
sanggup jika harus pergi meninggalkan gadis yang ia cintai selama empat tahun
ini.
“ Maafkan aku, Alex. Aku sungguh minta
maaf. Aku berjanji aku tak kan mengulangi hal bodoh itu lagi “
“ Iya, aku maafkan. Dan aku pun
meminta maaf karena telah memarahi mu begitu kasarnya. Maaf, pikiran ku sedang
kacau “
Setelah kejadian itu, Vanya menganggap
semuanya akan kembali seperti biasanya. Namun Vanya salah menduga, perlahan
Alex mulai menjauhinya. Semakin hari semakin jelas jarak yang di buat Alex
untuk Vanya. Ketika Vanya rindu dengan pelukan hangat yang selalu diberikan
oleh Alex untuknya, ia hanya bisa menitikkan air mata ketika melihat Alex
seolah tak ingin lagi menghangatkan tubuhnya seperti yang biasa ia lakukan
dulu.
Kini, tak ada lagi sosok laki-laki
yang membantunya untuk memilih satu atau dua buku dari beberapa buku yang
dipilih oleh Vanya. Tak ada lagi sosok laki-laki yang setia menunggunya di
kantin sekolah untuk mengantarnya pulang kerumah. Tak ada lagi sosok laki-laki
yang dengan setia dan sabar menemaninya bermain di tempat bermain. Tak ada lagi
sosok laki-laki yang menemani berjalannya waktu seperti dulu. Semuanya telah pergi.
Semuanya telah sirna hanya karena satu kebodohan.
Hanya rasa sesal yang kini Vanya
rasakan, tak ada lagi seulas senyum di bibir merah muda Vanya, yang tersirat
hanya raut wajah murung. Vanya begitu terpuruk setelah kejadian itu hingga
membuatnya mengalami trauma.
Satu kalimat yang selalu ia lontarkan
ketika ia mengingat kebodohannya pada Alex, “ Maafkan aku, Alex. Aku sungguh
menyesal. Aku mohon agar kau kembali bersama ku “ lirihnya dalam tangisan.
Komentar