Saat
jam berdentang menunjukkan tepat pukul 00.00 WITA. Satu hal yang langsung aku
ucapkan pada Tuhan, “Terima Kasih, Tuhan. Kau masih berikan dia kesempatan
untuk bernafas seperti biasanya. Kau masih beri dia kesempatan untuk menjalani
hari-harinya. Dan kau masih memberiku kesempatan untuk dapat melihatnya walau
hanya sekilas, terkadang”.
Selamat
Ulang Tahun yang ke-17, Telinga Kurcaci ku. Iya, Telinga Kurcaci. Itu adalah
julukan dari ku untuk mu waktu dulu. Sangat dulu. Namun sekarang, julukan itu
sudah tak berarti apa-apa untuk mu, layaknya sampah yang tak berguna.
Maaf
jika aku bukan orang yang pertama kali mengucap selamat untuk mu. Karena aku
tahu itu akan percuma. Meskipun aku mencoba, tetap tak akan pernah ternilai di
mata mu.
Tapi
tenang saja. Aku tetap mendoakan mu. Namun tidak ku katakan kepada mu,
melainkan ku sampaikan pada Tuhan. Begitu banyak doa yang ku panjatkan hanya
untuk mu. Berharap segala yang terbaik untuk mu. Saat ku berdoa, tanpa ku
sadari air mata ku menetes membanjiri pipi ku. Aku menangis bukan karena aku
lemah! Tidak! Namun, karena aku hanya sanggup mendoakan mu dari kejauhan. Maaf
aku tidak bisa seperti “mereka” yang mungkin saja telah memberi mu berbagai
macam hadiah dengan kocek yang cukup tinggi. Maaf, aku tidak mampu untuk itu :)
Beberapa
bulan sebelumnya, aku sengaja menyisihkan setengah dari uang bekal ku untuk
membelikan mu sebuah hadiah. Aku sudah mendapatkannya. Aku membelinya karena
aku tahu kau gemar mengoleksinya. Tapi sekali maaf, itu bukan kado seberapa.
Sampai aku tahu pada akhrinya, kamu memang tidak akan pernah sederajat dengan
ku, dengan barang pemberian ku.
Apakah
kau ingat saat aku mengucapkan selamat beserta beberapa doa untuk mu, lalu kau
hanya membalasnya dengan tiga kata dalam satu kalimat? Mungkin kau lupa. Karena
itu tidaklah penting bagimu. Saat itu aku merasa semuanya sia-sia, percuma.
Aku
hanya mampu terdiam dalam luka yang semakin membesar…
Dalam
luka yang sekuat tenaga ku coba sembuhkan, namun tak pernah kunjung sembuh…
Dalam
luka yang masih setia dengan tetesan darah, dan rasa perihnya ketika tersayat…
Aku
masih sanggup untuk diam. Aku masih sanggup untuk menahan air mata agar tidak
terjatuh. Dan- aku masih sanggup untuk tetap menghiasi wajahku dengan senyum
ku. Iya, aku masih sanggup untuk berpura-pura tidak apa-apa dengan kejadian
itu. Tapi, hanya aku dan Tuhan yang tahu tentang perasaan ku.
Ingatkah
kau dengan buku cerita yang kau berikan pada ku seratus tujuh puluh enam hari
yang lalu? Iya, buku cerita yang terdiri dari dua novel dan satu komik, yang
kau balut dengan kertas kado berwarna hijau. Warna hijau adalah warna
kesukaanku. Masih ingat? Terima kasih jika kau masih mengingatnya. Aku sangat
berterima kasih. Mungkin masih ada bagian ku dalam ingatanmu, walau hanya
sedikit. Sekali lagi terima kasih.
Perlu
kau tahu, Telinga Kurcaci. Aku mendoakanmu bukan hanya pada hari ini. Melainkan
setiap saat. Sama halnya seperti aku mendoakan kedua orang tuaku, nama mu tak
pernah luput dalam doa ku. Karena hanya satu yang ku inginkan pada Tuhan akan
diri mu. Aku hanya ingin kau tetap ada didepan ku dengan punggung itu. Punggung
yang selalu menghadap ke arah ku, dan tak pernah berbalik memerlihatkan siapa
pemilik punggung itu. Tanpa kau tahu, aku menyukai punggung itu meskipun itu
terasa perih dalam luka.
Aku
tidak pergi darimu. Aku tidak mendekatimu. Aku hanya diam pada tempat ku, tanpa
harus berjalan kemana pun. Aku sadar, tempat ku adalah disini. Tempat dimana
aku bisa melihat tawa dan senyum sumringah mu, tapi kau tidak bisa melihat ku. Tapi
itu bukan masalah bagi ku. Aku berjanji akan tetap tersenyum. Aku berjanji.
Selamat Ulang Tahun, Telinga Kurcaci
ku
Selamat Tujuh Belas Tahun
Semoga menjadi lebih baik dari
umur yang kemarin
Selamat menjadi orang yang dewasa
:)
Komentar